Jumat, 28 November 2008

BAGAIMANA PENDIDIKAN YANG COCOK UNTUK ANAK BERBAKAT DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI

BAGAIMANA PENDIDIKAN YANG COCOK
UNTUK ANAK BERBAKAT DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI?

Dibawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
11 December 2004



The success of the inclusive school
depends considerable on early identification, assessment and stimulation of very young child with special educational needs.
Early childhood care and education programmes for children aged up to six years ought to be developed and/or reoriented to promote physical, intellectual and social development and school readiness…
Programmes of dit level should recognize the principle of inclusion and be developed in a comprehensive way by combining pre-school activities and early childhood health care.

Salamanca Framework for Action
Article 53


Julia Maria van Tiel
Kelompok diskusi orang tua anak berbakat
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat-owner@yahoogroups.com
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/

PENDAHULUAN DAN MASALAH

Bagaimana pendidikan yang cocok untuk anak berbakat? Pertanyaan ini sering sekali diajukan dalam diskusi kelompok kami. Sementara itu, dalam berbagai publikasi tentang pendidikan anak berbakat di Indonesia selalu dikemukakan tentang kelas unggulan dan program akselerasi. Jika berfikir ke arah sana, jelas kelompok anak berbakat yang terhimpun dalam kelompok kami ini tidak akan bisa masuk dalam kriteria anak berbakat yang bisa diterima di kelas unggulan. Masalah utama adalah bahwa anak-anak ini:
1) tidak menunjukkan prestasi prima;
2) mempunyai prestasi hanya dibidang minatannya saja;
3) dalam test IQ menunjukkan ketidak harmonisan profil;
4) selalu terdiagnosa berbagai gangguan mental dan perilaku, yang membuat sekolah enggan untuk menerimanya;
5) guru tidak tahu bagaimana harus menghadapinya;
6) mengalami kesulitan beradaptasi dengan program kelas konvensional.
7) tak satupun bentuk sekolah yang tersedia yang mampu menerima anak dengan dua karakteristik sekaligus ini.

Bukan saja ia tidak bisa masuk ke dalam kelas unggulan, tetapi juga kesulitan berada di sekolah-sekolah dasar umum (reguler). Alasannya, ia tidak bisa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh fihak sekolah, sehingga prestasi yang dicapai seringkali tidak sesuai dengan persyaratan perkembangan pada umumnya seorang anak. Beberapa kesulitan yang sering didapatkan antara lain:
1) prestasi nilai tidak seimbang, hanya baik disuatu mata ajaran yang diminati seperti misalnya berhitung, tetapi pelajaran lain mempunyai nilai sangat jelek, yaitu pelajaran Agama, PPKn, dan bahasa Indonesia, karena itu ia tidak memenuhi persyaratan naik kelas sedang di sisi lain ia mempunyai bidang minatan yang menuntut pengembangan,
2) mengalami kesulitan menyelesaikan tugas-tugas rutin seperti pekerjaan rumah, dan tugas menghapal,
3) tidak bisa bekerjasama dalam tim,
4) prestasi menulisnya jelek sehingga banyak pekerjaan yang tidak bisa terbaca, hal ini karena perkembangan motorik halusnya tertinggal,
5) kemampuan abstraksi mondeling sering tertinggal bila dibanding teman-temannya,
6) kadang diikuti dengan learning disabilities (gangguan belajar),
7) sulit berkonsentrasi di tempat ramai, emosional dan mudah frustrasi, tidak bisa diam serta dianggap mengacaukan jalannya pembelajaran di dalam kelas serta menyikat perhatian guru,

Kini semakin sadarnya masyarakat terhadap pola tumbuh kembang seorang anak normal, serta pemantauan tumbuh kembang anak yang semakin detil, menyebabkan anak-anak kelompok ini menjadi kelompok yang terpisahkan dari kelompok anak normal, yang sayangnya hingga kini di Indonesia belum mendapatkan tempat di sekolah. Kelompok ini sekalipun berjumlah besar (setengah dari populasi anak berbakat yaitu setengah dari 3- 5 persen dari anak yang lahir) namun kelompok anak seperti ini belum populer di Indonesia, karenanya masih sangat langkanya ahli yang mempelajarinya, melakukan deteksi dini, memberikan bimbingan pada guru, serta mendidik para orang tua dalam tugas pengasuhannya. Di samping itu masih terjadi debat tentang diagnosa anak-anak ini di antara para profesional terutama di antara dokter dan psikolog, menjadikan anak-anak ini terlalaikan, tak terarah, tidak terbimbing sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya bahkan tidak terdidik dengan semestinya. Para orang tua anak-anak ini juga tidak mendapatkan pembinaan yang selengkapnya agar ia dapat mengasuh dengan sebaik-baiknya.
Anak-anak ini tidak bisa diterima sekolah dasar umum, artinya bahwa anak-anak gifted dengan perkembangan disinkroni ini membutuhkan pendekatan pendidikan yang berbeda dari anak normal dan membutuhkan metoda khusus yang disesuaikan dengan berbagai karakteristik yang disandangnya, baik permasalahnya maupun giftednessnya.


MEMBUTUHKAN PENDEKATAN DUA ARAH

Giftedness pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dapat diartikan sebagai hal yang disorder, karena giftedness adalah suatu perkembangan intelektual, karena itu selalu disimpulkan bahwa giftedness bukanlah suatu masalah dan tidak memerlukan pendekatan khusus (terapi). Namun ternyata dalam perjalanan tumbuh kembangnya anak-anak ini kemudian mengalami berbagai pengalaman yang menyulitkan, karena karakteristik giftednessnya yang ternyata menimbulkan masalah justru menjadi tidak tertangani, apalagi jika diikuti dengan tumbuh kembang yang tidak mengikuti pola normal.

Di Negara-negara yang menggunakan system asuransi, keadaan ini menjadi sangat tragis, saat mana anak-anak ini membutuhkan berbagai pemeriksaan dan remedial terapi. Diagnosa mana yang harus diambil dan menjadi prioritas? Apakah diagnosa gangguannya sehingga anak-anak ini akan mendapatkan pendidikan sekaligus terapi khusus sesuai dengan gangguan yang disandangnya serta mendapatkan subsidi kesehatan dan bantuan asuransi, yang artinya ia harus masuk sekolah khusus (SLB)? Ataukah pembinaan giftednessnya, yang artinya ia harus masuk sekolah umum plus pembinaan giftednessnya? Seringkali karena masalah yang disandangnya ini menyebabkan ia pun mengalami gangguan dalam penerimaan pengajaran, maka justru yang menjadi prioritas adalah memberikan terapi dan masuk ke sekolah khusus (SLB) dengan diagnosa mengalami gangguan mental dan perilaku, karena dengan diagnosa ini ia dapat menerima subsidi ataupun asuransi kesehatan. Ditambah lagi dengan pengertian bahwa giftedness bukanlah suatu masalah.

Memprioritaskan salah satu dari kedua itu ternyata dari banyak pengalaman menunjukkan hanya akan menimbulkan berbagai masalah baru, yang memperparah keadaan dan lebih sulit ditanggulangi (Monks& Ypenburg, 1995) . Sampai saat ini masih sangat jarang negara yang mempunyai system pendidikan yang menggunakan kedua pendekatan sekaligus untuk anak-anak kelompok seperti ini, yaitu memberikan remedial terapi di sekolah umum sekaligus juga memberikan layanan keberbakatannya yaitu dengan memberikan metoda yang sesuai dengan gaya belajarnya, memberikan program pengkayaan, pendalaman dan percepatan. Hal ini disebabkan masih langkanya penelitian baik di bidang kedokteran, psikologi, maupun pedagogi terhadap anak-anak kelompok ini. Di mana penelitian itu dapat digunakan sebagai landasan dalam pengelolaan, penetapan peraturan dan undang-undang pendidikan yang akan menyangkut masalah manajemen pendidikan dan kurikulum, pembiayaan, serta jalur yang dapat ditempuh oleh anak-anak ini.

Akibat permasalahan yang disandangnya itu mengakibatkan anak-anak ini juga mengalami prestasi yang tidak memuaskan, sehingga tidak naik kelas, dianggap bodoh dan akhirnya masuk ke jenjang sekolah yang tidak memerlukan pengembangan intelektual. Jika jenjang ini ditempuh, maka bisa dibayangkan jika seumur hidupnya hanya akan mengalami berbagai masalah yang bagai domino efek. Hambatan pengembangan intelektual hanya akan menyebabkan masalah perilaku agresi (pada anak laki-laki) atau psikosomatik (pada anak perempuan), kefrustrasian, rendah diri, dan depresi.


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK GIFTED DI BELANDA

Sejarah

We zijn samen weer naar school (kita kembali bersama-sama ke sekolah) adalah inovasi sistem pendidikan di Belanda dalam menanggapi kebutuhan pendidikan yang memperhatikan bahwa setiap anak mempunyai keunikan masing-masing (disebut omgaan met verschillen) dengan pendekatan sistem pendidikan yang adaptif, yang artinya bahwa pendidikan yang ditawarkan harus mampu diterima oleh setiap murid. Bentuk ini merupakan reaksi terhadap keadaan yang dirasa semakin kurang menguntungkan terhadap anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus dalam pendidikan dengan cara memisahkannya dari komunitas anak-anak yang dianggap normal dalam sekolah-sekolah khusus atau luar biasa (special onderwijs). Pemisahan yang dimulai sejak pasca perang dunia itu, yang pada akhirnya menghasilkan bentuk yang semakin beragam, maka sejak tahun 1963 sistem pendidikan seperti ini mulai dirasa kurang menguntungkan bagi perkembangan si anak, disamping itu juga dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dalam deteksi anak-anak bermasalah, mengakibatkan jumlah anak bermasalah menjadi semakin meningkat yang menyebabkan bangku sekolah khusus yang disediakan tidak seimbang lagi dengan kebutuhan. Sejak itu difikirkan adanya bentuk sekolah reguler (umum) yang juga dapat menerima anak-anak yang membutuhkan perhatian ekstra. Dan pada tahun 1990 ditetapkanlah adanya bentuk sekolah ini yang kemudian disebut We zijn samen weer naar school ( Dodde & Luene,1995).

We zijn samen weer naar school yang merupakan bentuk sekolah dalam sistem reguler ini, awalnya selain dapat menerima anak-anak yang normal tetapi sekaligus juga dapat menerima anak-anak yang mengalami gangguan belajar spesifik (pesific learning disabilities) yaitu disleksia, disgrafia dan diskalkulia, namun pada tahun 2000 sekolah-sekolah reguler ini menerima juga anak-anak gifted baik yang mempunyai prestasi maupun yang mengalami prestasi rendah (underachiever) dan bermasalah. Anak-anak dengan ADHD dapat diterima tahun 2000. Pada tahun 2002 kemudian dapat menerima anak-anak dengan ASD (Autistic Spectrum Disorder) dengan batasan inteligensia normal ke atas.

Anak-anak dengan berbagai gangguan lainnya (gangguan inteligensia yang berat; cacat primer seperti buta, tuli, dan cacat fisik lainnya; serta gangguan mental) tidak dimasukkan dalam sekolah reguler. Sehingga model sekolah inklusif Belanda (di mana sekolah umum/reguler dapat menerima anak dengan kebutuhan khusus) berbeda dengan model sekolah inklusif yang dikembangkan oleh Unesco yang inovasinya didasari Deklarasi Salamanca tahun 1994 bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-sebaiknya serta pendidikan perlu memperhatikan keunikan setiap individu. Model inklusif yang dikembangkan oleh Unesco adalah bentuk sekolah reguler yang terbuka untuk berbagai anak berkebutuhan khusus, sehingga negara yang menggunakan model ini tidak lagi memerlukan adanya sekolah-sekolah khusus (SLB).

Sementara itu Negara Belanda menggunakan selain pendekatan inklusif yang membatasi penerimaan murid berkebutuhan khusus, tetapi juga tetap mengadakan sekolah-sekolah khusus. Dalam pelaksanaannya kemudian, diadakan kerjasama dan pengembangan secara lintas program antar sekolah-sekolah reguler dan sekolah khusus. Sebagian anak-anak yang dirasa sudah dapat dipindah ke sekolah reguler, tidak perlu lagi ke sekolah khusus, atau sebaliknya. Jika yang diprioritaskan adalah mengatasi permasalahan yang disandang oleh seorang murid, maka ia bisa dipindahkan ke sekolah khusus.

Masuknya anak-anak gifted ke dalam sekolah reguler inklusif Belanda sebagai kelompok anak yang membutuhkan perhatian khusus ini juga diperlukan keputusan bersama antar Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan, yang memberlakukan bahwa dalam melihat kebutuhan pendidikan anak-anak gifted diperlukan dua aspek pandangan yang sama pentingnya yaitu (Ministrie van Onderwijs, Cultuur en Wetenschappen, 2001):
1) aspek permasalah yang disandang anak-anak gifted yang dapat menyebabkan anak-anak ini mengalami prestasi yang rendah (underachiever) ;
2) aspek pengembangan potensi keberbakatan.

Keputusan ini berdasarkan nota dari Menteri Pendidikan (Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wettenschappen) tahun 1988 yang akhirnya mendasari undang-undang tentang pengelolaan anak-anak gifted Belanda (Mooij, 1991). Dengan undang-undang ini maka kelompok anak-anak gifted dimasukkan sebagai kelompok anak berkebutuhan khusus dan sekaligus juga menerima subsidi kesehatan dan jaminan asuransi jika memerlukan berbagai pemeriksaan psikologi yang berkaitan dengan pengembangan giftdnessnya (Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wetenshsappen, 2001).

Perjalanan panjang perencanaan pengelolaan pendidikan anak-anak gifted Belanda ini dimulai dari sejarah penelitian panjang yang diketuai oleh JF Mönks seorang psikolog pendidikan dari Universitas Nijmegen. Hal yang mendorong diadakannya penelitian ini adalah karena banyaknya anak-anak yang mendapatkan diagnosa MBD (Minor Brain Damage, pada waktu itu diagnosa ini lebih populer) dan mendapatkan berbagai terapi dan revalidasi, serta ditempatkan di panti-panti dan sekolah untuk anak-anak yang sangat bermasalah, namun berbagai tindakan yang diberikan ini bukan memecahkan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan. Pada waktu Mönks melakukan assessment perkembangan inteligensia, menunjukkan bahwa anak-anak ini ternyata mempunyai potensi giftedness yang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam pendidikannya. Kepada anak-anak ini kemudian dilakukan rehabilitasi, namun ternyata upaya rehabilitasi lebih sulit jika giftedness anak-anak seperti ini telah dapat dideteksi dan segera diberikan pendidikan yang terstruktur sejak dini.

Maka sejak tahun 1983 dimulailah penelitian panjang tentang anak-anak gifted Belanda, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Keberbakatan atau CBO (Centrum voor Begaafdheids Onderzoek) Universitas Nijmegen. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa setengah populasi anak-anak berbakat ternyata mengalami prestasi rendah yang tidak sesuai dengan potensi yang diharapkan. Berbagai hal yang menyebabkan jatuhnya prestasi ini antara lain karena dukungan terhadap berbagai perkembangan dan intelektual si anak baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat menunjukkan dukungan yang tidak mencukupi. Hasil penelitian ini kemudian melengkapi teori Triadik Renzulli menjadi Triadik Renzulli-Mönks yang dipublikasinya tahun 1988 (Monks & Ypenburg,1995). Teori inilah yang kini menjadi dasar perundang-undangan dan pendidikan anak-anak gifted di berbagai negara di Eropa.

Istilah gifted di Belanda lebih dikenal dengan sebutan hoogbegaafd (potensi tinggi) yang dalam penggunaan bahasa Inggris lebih dikenal dengan istilah high ability yang pengertiannya lebih mengacu pada potensi yang dimiliki setiap anak gifted, daripada produk atau prestasi yang dihasilkan. Istilah high ability ini kini lebih banyak digunakan dan menjadi istilah resmi di berbagai negara Eropa. Dalam kerjasama pendidikan anak-anak gifted di Eropa, berbagai negara bersatu dan membentuk sebuah lembaga konsil dengan nama ECHA (European Council for High Ability). Sementara Amerika masih menggunakan istilah Gifted Center (ECHA,2004, http://www.echa.ws/) . Perbedaan dasar teori dua belahan benua antara Eropa dan Amerika ini juga membawa dampak pada debat teoritis tentang anak-anak gifted yang membutuhkan pendekatan dan waktu yang tidak sedikit. Debat teoritis yang belum selesai ini akan membawa pada tidak pernah selesainya perundang-undangan tentang pendidikan anak-anak gifted di Amerika yang sebetulnya model pendekatannya kemudian banyak ditiru oleh banyak negara yang mengacu pada pendidikan model Amerika.

Debat teoritis yang kini tengah hangat antara Amerika dan Negeri Belanda adalah tentang Gifted dengan visual learner yang oleh Ron Davis dari Amerika (http://www.dyslexia.com/program.htm) dikelompokkan sebagai anak penyandang disleksia. Ron Davis juga menawarkan program terapi untuk disleksia. Dalam bukunya, The Gift Of Dyslexia ( 2001), Ron Davis menjelaskan bahwa dysleksia bukanlah suatu kecacatan, tetapi justru suatu gift yang mempunyai nilai yang luar biasa karena ia mengartikan disleksia sebagai visual learner. Menurut Ron Davis pula bahwa disleksia ini dapat diterapi dan disembuhkan. Namun pendapat ini ditentang oleh berbagai ahli-ahli tentang visual learner Belanda antara lain oleh Prof Roel de Groot dalam bukunya yang terakhir (Denkbeelden over Beelddenken, 2003) menjelaskan bahwa apa yang dikemukakan oleh Ron Davis dari American Dyslexia Assosiation adalah teori yang tidak benar.
Menurut de Groot (2003), visual thinking adalah cognitive style dari seseorang, mempunyai spektrum yang luas, tidak semua anak-anak yang mempunyai gaya berfikir dengan visual thinking akan mengalami disleksia. Gambaran melalui penciteraan otak pada anak-anak dengan disleksia dan anak-anak dengan visual thinking jelas menunjukkan gambaran yang sangat berbeda.

Kembali kepada masalah anak gifted di Belanda, berdasarkan hasil temuan penelitian Universitas Nijmegen di atas, Mönks beserta stafnya melakukan kampanye secara intensif di berbagai seminar, pertemuan, media cetak, radio dan televisi, serta menerbitkan film dokumenter berjudul: Hoogbegaafd met vallen en opstaan (Jatuh bangunnya anak gifted). Film dokumenter yang dramatis tentang kisah duka anak-anak gifted ini berhasil menggugah berbagai kelompok profesi untuk melihat masalah anak gifted dari kedua belah sisi, baik sisi kecermerlangannya dalam perolehan berbagai medalinya, namun juga sisi yang menyulitkannya Dengan begitu masyarakat dan fihak profesional diharapkan dapat memberinya ruang dan toleransi yang lebih besar terhadap berbagai karakteristik yang disandang anak-anak gifted tersebut (Mönks & Ypenburg, 1995).

Adaptive Education dan Psychoeducational Assessment

Masalah anak-anak gifted umumnya muncul justru saat mereka berusia di bawah lima tahun dan saat-saat di sekolah dasar. Di sekolah lanjutan pada umumnya berbagai masalah yang ada sudah dapat diatasinya, serta perbedaan tingkat perkembangan anak-anak di usia sekolah lanjutan sudah tidak terlalu mengalami kesenjangan yang besar Para orang tua yang mengeluhkan masalah anaknya umumnya melaporkan saat anak-anak itu masih berada di kelompok bermain, sekolah taman kanak-kanak, atau di sekolah dasar (http://members.lycos.nl/signaalkrant/DESIGNAALKRANT35.doc ).

Para ahli pendidikan melaporkan bahwa hal ini disebabkan bukan saja karena masalah disikronitas perkembangannya, tetapi juga gaya berfikir yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Gaya berfikir yang gestalt (global dan analisis) menyebabkan ia tidak bisa menerima pendidikan konvensional yang membutuhkan gaya berfikir skuensial. Karena itu jika materi pendidikan tidak diberikan sesuai dengan gaya berfikirnya akan menyebabkan prestasi rendah (underachiever) yang bisa berlanjut pada kefrustrasian dan masalah perilaku lainnya. Karena itu dalam menanggapi kebutuhan pendidikan anak-anak gifted serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, materi yang diberikan dalam pendidikan reguler sekolah dasar Belanda telah dirubah dari content-based-curriculum ke arah competence-based-curriculum yaitu dengan memberikan kurikulum berdiferensiasi dan metoda yang sesuai dengan karakteristik setiap anak didik. Pendekatan ini lebih dikenal sebagai adaptieve onderwijs (pendidikan yang adaptif).

Usia wajib sekolah dimulai umur 4 tahun hingga usia sekolah lanjutan (16 tahun). Guna memberikan pendidikan yang berdiferensiasi dengan competence-based-curriculum, pada anak-anak ini sejak dini sudah dilakukan psychodeucational assessment yang dilakukan oleh dokter sekolah, schoolbegeleiding dienst (dinas bimbingan pedagogi), speech patolog, dan seterusnya, dibantu oleh guru dan interne begeleider (konselor). Kelompok profesi ini merupakan profesi yang bekerja secara regional dalam tingkatan desa (kecamatan). Bila diperlukan untuk diases lebih lanjut maka dapat dikirim ke pusat-pusat assessment yang lebih tinggi seperti RIAGG ( Regional Instellingen voor Ambulante Geestelijk Gezondheidzorg) atau rumah-rumah sakit yang lebih khusus.

Usia 4 tahun – 6 tahun (taman kanak-kanak yang dalam bahasa Belanda disebut kleuterschool) bukan saja sebagai tempat untuk pengembangan intelektual, tetapi lebih merupakan pusat tumbuh kembang, baik intelektual, fisik, psikologis, sosial, motorik, bahasa dan wicara. Karena itu pendidikan di usia ini dikaitkan pula dengan program kesehatan yang dilakukan oleh dokter sekolah dipantau oleh dinas kesehatan. Dokter sekolah menerima status kesehatan dari dokter tumbuh kembang regio masing-masing. Apabila dokter tumbuh kembang menemukan adanya ketidak selarasan perkembangan, si anak segera di kirim ke pusat-pusat diagnosa dini, untuk selanjutnya mendapatkan advis pendidikan di panti-panti atau sekolah khusus yang sesuai dengan gangguan perkembangan tersebut. Apabila dirasa masih dapat mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah reguler, anak tersebut masih dapat mengikuti pendidikan di taman kanak-kanak di sekolah reguler, namun dengan catatan masalah dan perlu mendapatkan perhatian khusus dari dokter sekolah (shoolarts) yang mempunyai hubungan kerja dengan dokter keluarga masing-masing.
Bentuk sekolah reguler seperti ini menuntut adanya sistem regional, dimana si anak hanya dapat bersekolah di regio dimana ia tinggal (Ministerie van OCW, 2004, http://www.minocw.nl/po/gids2003nl/print.html)

Perkembangan tugas pokok dokter sekolah yang telah dimulai 100 tahun lalu yaitu sejak tahun 1904, awalnya hanyalah melakukan tugas pemeriksaan kebersihan sekolah, lambat laun berubah mendapatkan tugas melakukan pemeriksaan kesehatan, dan vaksinasi di sekolah. Sejak adanya perubahan dalam sistem pendidikan ini, yang semula dokter sekolah berada di dinas-dinas kesehatan kota, kini mempunyai peranan yang lebih besar dan berada di setiap wijk (setingkat kelurahan), dan dorp (desa). Dokter sekolah membawahi beberapa sekolah dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak sekolah mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan. Tugas pokoknya kini semakin berat, karena harus bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang seorang anak yang berkaitan dengan kesiapan seorang anak menerima pembelajaran. Selain melakukan berbagai deteksi dini persyaratan seorang anak agar dapat menerima pendidikan dengan baik, ia juga melakukan penyuluhan-penyuluhan baik kepada murid dan orang tua. Jika dahulu dokter sekolah hanya terlibat pada masalah fisik seorang anak kini tugasnya meluas menjadi masalah perkembangan fisik dan psikososial seorang anak dalam rangka kesiapannya menerima pendidikan secara maksimal. Dokter sekolah adalah suatu profesi yang mendapatkan pendidikan spesialisasi sebagai dokter sekolah.
http://www.ggdfryslan.nl/content/ziekten_preventie/opjegezondheid/honderd_jaar_schoolarts.htm



Guna pelayanan yang maksimal terhadap anak-anak gifted, apabila ada hal-hal baru dalam metoda pengajaran anak gifted, untuk itu para guru mendapatkan training atau tambahan pendidikan di pusat-pusat pendidikan guru untuk anak gifted. Dalam hal ini pemerintah Belanda juga mendirikan pusat informasi nasional (De Landelijke Informatiepunten Hoogbegaafdheid) yang bertujuan selain memberikan informasi kepada guru, para orang tua dan murid, serta berbagai tenaga profesi lainnya, juga melakukan inventarisasi berbagai masalah yang dihadapi oleh berbagai fihak (Hulsbeek & de Boer, 2001).

Psychoeducational assessment adalah salah satu penunjang sistem pendidikan adaptif berbasis kompetensi yang sangat penting. Apabila seorang anak mendapat catatan dari dokter tumbuh kembang bahwa ia mempunyai perkembangan yang memerlukan perhatian, dokter sekolah akan segera melakukan berbagai pemeriksaan dan mengirimnya ke antara lain schoolbegeleidingdienst dengan referal melalui dokter keluarga (huisrarts) untuk dilakukan psychoeducational assessment.

Diagnostik dan Portfolio

Apabila ada catatan dari dokter, seorang anak yang datang ke sekolah tidak lagi akan membawa diagnosa dokter dan psikolog, tetapi diagnosa dari seorang pedagog ataupun orthopedagog. Oleh psikolog beserta pedagog/orthopedagog di lembaga schoolbegeleidingdienst, diagnosa dokter tersebut akan segera diterjemahkan menjadi orthopedagogidiagnostik dengan cara melakukan kembali berbagai test yang diarahkan pada bagaimana cara-cara bimbingan yang sesuai untuk seorang anak.

Pada dasarnya diagnostik pra syarat kemampuan anak menerima pelajaran ditegakkan dengan cara melakukan berbagai pemeriksaan dan test baik kualitatif maupun kuantitatif yang ditujukan kepada (Carlier dkk,1989):

A. Kondisi internal murid:
1. Gangguan perkembangan biologis
2. Gangguan perkembangan psikologis:
a. intelektual
b. motivasi dan emosi
c. perkembangan bahasa dan wicara
d. perkembangan motorik
e. perkembangan sosial
f. pengetahuan umum
g. kemampuan
h. perilaku belajar
i. strategi pemecahan masalah
B. Kondisi external murid
1. keluarga
2. peergrup
3. sekolah
4. budaya




Guna perencanaan pengelolaan di dalam kelas dilakukan pemeriksaan yang dikenal sebagai pedagogisch-didactisch onderzoek (muelenberg & Rijswijk, 2003). Pemeriksaan ini merupakan lanjutan dari pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya, dan dilakukan oleh schoolbegeleider, orthopedagog, interne begeleider dan guru berpengalaman. Dengan pemeriksaan ini akan diperoleh informasi bagaimana setiap anak dapat berfungsi dalam beragam permainan, pelajaran, dan situasi kerja. Bidang-bidang yang diamati adalah berbagai aktivitas yang dikerjakan murid dalam rangka pengasuhan dan pembelajaran. Kesimpulan ditarik terhadap semua facet perkembangan baik dalam situasi di sekolah maupun di rumah. Observasi tersebut adalah terhadap bidang-bidang perkembangan sebagai berikut:
- orientasi pandang ruang
- motorik
- pengenalan anggota badan
-
- orientasi waktu
- pengenalan lingkungan, bahasa dan gaya berfikir
- kemampuan membaca dan menulis
- hitungan sederhana

Semua hasil pemeriksaan, laporan guru, orang tua, hasil kerja anak dikumpulkan dalam satu map yang kemdian disebut portfolio. Dari berbagai catatan inilah guru dibantu oleh interne begeleider (konselor sekolah) harus mampu menarik kesimpulan apa yang harus diberikan pada seorang anak bimbingannya. Portfolio akan menyertai anak hingga ia menyelesaikan studinya sejak taman kanak-kanak hingga akhir sekolah dasar. Portfolio ini akan terus bertambah dan sewaktu waktu digunakan kembali untuk bahan evaluasi (Dekker & Zijlstra, 2003).

Sinyal giftedness atau keberbakatan yang perlu mendapatkan perhatian adalah (van Gerven, 2001):
- cepat dalam pemahaman
- mempunyai bidang minatan yang luas
- mempunyai kemampuan belajar dengan tempo sangat panjang
- mempunyai kemampuan bahasa yang tinggi
- mempunyai kemampuan pemecahan masalah secara cepat
- mempunyai kemampuan analitik yang tinggi
- sangat kreatif dan sangat orijinal
- kematangan jiwa
- brainbrekers (menyenangi pekerjaan yang sulit dan menantang)
- mempunyai memori yang sangat baik
- mempunyai ketahanan kerja yang tinggi
- perfeksionis
- menyukai bekerja secara mandiri
- mempunyai kekuatan dalam beberapa bidang tertentu
- dapat berfikir secara intuitif
- mempunyai kebutuhan untuk melakukan kontak dengan yang lebih dewasa


Dalam membicarakan keberbakatan dan mencari faktor-faktor kemungkinan yang menghambat fungsi seorang anak dalam mencapai prestasi, akhir-akhir ini mulai digunakan model multifaktor dari Kurt Heller, seorang Jerman. Model ini merupakan penggabungan dari model Triadik Renzulli-Mönks dan Multiple Intelligence (MI) dari seorang psikolog Amerika bernama Howard Gardner. Sebetulnya konsep MI cukup sederhana. Titik perhatiannya adalah, setidaknya satu atau dua cara akan bisa bagus: sekalipun banyak caranya. Ada yang disebut multiple intelligence. Berdasarkan pengamatan dalam jangka panjang, Gardner mengidentifikasi adanya 8 bentuk inteligensia, yang dapat muncul dalam bentuk 8 bidang prestasi: verbal linguistic, logis-matematik, pandang-ruang, musik-ritme, fisik-kinestatik, naturalistik, interpersonal inteligensia, dan intrapersonal inteligensia. Gardner menjelaskan bahwa setiap manusia pada prinsipnya mempunyai bawaan inteligensia ini, namun tidak semua orang akan mempunyai bakat yang sama kuat. Setiap orang akan berbeda, yang satu akan lebih kuat dari yang lain. Setiap orang akan mengenal bahwa tidak semua murid mempunyai kemampuan bahasa yang baik, namun ia benar-benar bisa hidup dari ketrampilan tehniknya. Kita juga mengenal anak-anak yang tidak kuat dalam pelajaran berhitung, tetapi mempunyai kepandaian bahasa yang sangat baik (van Gerven, 2001).



Model Multifaktor dari Heler.

Konsep MI banyak sekali mendapat perhatian di negara-negara berbahasa Inggris dan Asia. Di banyak Negara orang sibuk dengan penerapan konsep ini di bidang pendidikan.
Maka kini membajirlah konsep anak bertalenta, serta orang sibuk menggali ke delapan inteligensia saat anak-anak itu masih kecil sekali dengan maksud agar bakat itu bisa dipupuk sampai pada puncak prestasi yang tinggi, yang akhirnya menjurus pada miskonsepsi keberbakatan.

Dalam model multifaktor dari Heller, dimana MI oleh Kurt Heller dikelompokkan sebagai bidag prestasi memegang peranan yang sangat penting. Definisi dari Heller tentang keberbakatan pada dasarnya adalah anak-anak berbakat itu tidak bisa dengan sendirinya mewujudkan keberbakatannya dalam bentuk prestasi yang istimewa. Mereka memang mempunyai potensi bawaan, dan stimulasi dari lingkungan agar ia berprestasi istimewa, akan lebih mudah daripada anak-anak yang mempunyai kecerdasan rata-rata.
Anak berbakat yang tidak sampai berprestasi istimewa dan berada di bawah kapasitas kemampuan yang diharapkan, dalam visi Heller, mereka adalah anak-anak yang underachievement.
Sekalipun definisi dari Heller ini ditunjukkan, namun juga tidak mampu menunjukkan mengapa seorang anak bisa berbeda dengan anak lainnya yang mampu menunjukkan prestasi istimewanya. Namun model multifaktor ini memang agak lebih jelas.

Dalam model multifaktornya, Heller membedakan adanya lima faktor keberbakatan (giftedness) yaitu: kapasitas intelektual, musikal, kreativitas, sosial kompetensi, dan ketrampilan psikomotor (lihat sebelah kiri dari bagan). Faktor-faktor keberbakatan ini menurutnya secara relatif saling tergantung. Dan faktor-faktor keberbakatan ini akan bermanifestasi dalam bentuk delapan bidang prestasi: ketrampilan sosial, seni/kreativitas, kemampuan abstraksi, ketrampilan bicara dan bahasa, kemampuan berfikir logis-matematis, ketrampilan tehnik, prestasi olah raga/aktivitas olah raga, dan kepekaan ilmu-ilmu alam.

Bidang-bidang prestasi ini merupakan bidang-bidang prestasi yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dalam Multiple Intelligence. Dasar pemikirannya adalah bahwa anak berbakat mempunyai paling tidak ada satu inteligensia yang dapat dipoles, namun juga bisa terjadi semua bidang prestasi dapat mencapai prestasi di atas rata-rata. Disamping faktor-faktor keberbakatan dan bidang prestasi, Heller juga membedakan apa yang disebut factor non-kognitif personalitas yang dari kenyataan dipengaruhi oleh bahwa seseorang sudah atau belum mempunyai prestasi. Faktor-faktor itu adalah: presentasi/motivasi, stress dan kepekaan, strategi kerja dan belajar, ketrampilan regulasi, dan rasa percaya diri/faalangst (lihat bagian atas dari bagan). Akhirnya Heller membedakan faktor lingkungan: situasi dalam keluarga, situasi kelas dan sekolah, serta pengalaman yang sudah dicapainya, yang pada akhirnya menjadikan seorang anak berbakat mencapai prestasi dalam tingkatan yang sesuai sebagai anak berbakat.

Dengan model Heller ini guru dan orang tua dapat dengan mudah melihat di bagian mana seorang anak mempunyai masalah sehingga ia tidak mampu berprestasi bahkan merambat ke arah timbulnya masalah lainnya (perilaku, sosial, dan psikosomatis). Berdasarkan masalah yang ada ini, dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut dan ditata tindak lanjut yang perlu diberikan ( van Gerven, 2001).


KOMPETENSI DI DALAM KELAS

Dengan pendekatan competence-based-curriculum, artinya tidak ada lagi anak yang disebut anak bodoh atau anak pandai, tetapi setiap anak membawa keunikannya masing-masing dan duduk di dalam kompetensinya. Dalam hal ini di dalam kelas juga tidak ada sebutan sebagai anak gifted, tetapi sebagai anak yang lebih maju (di Belanda lebih sering digunakan istilah anak yang vooruit= maju di muka) daripada anak lain di dalam kelas. Di dalam kelas sekolah dasar Belanda dalam penggunaan kurikulum berdiferensiasi ini terdapat 3 kompetensi. Karena setiap anak seringkali tidak merata dalam kecepatan menempuh setiap mata ajaran, maka anak tersebut
bisa saja dalam pelajaran membaca duduk di kompetensi yang lebih di muka daripada pelajaran lainnya. Tujuan pelajaran yang ditetapkan menjadi sangat fleksibel, bisa ditempuh sesuai dengan kemampuan dan tempo menempuh pelajaran.

Pendidikan di sekolah dasar reguler Belanda pada dasarnya tidak menggunakan jenjang kelas, tetapi menggunakan kelompok usia. Taman kanak-kanak kelas kecil disebut grup satu sekolah dasar, dan seterusnya hingga grup 8 yang merupakan akhir sekolah dasar. Dengan begitu setiap anak akan duduk di dalam grupnya dan apabila membutuhkan materi yang lebih tinggi dapat diambilkan dari kelas di atasnya atau bila masih harus menyelesaikan materi dari kelas lebih rendah dapat diambilkan dari kelas di bawahnya. Apabila ternyata seorang anak tidak mampu mencapai minimum kompetensi yang ditetapkan oleh fihak sekolah, ia memerlukan evaluasi kembali (psikodiagnostik) untuk mengetahui berbagai hal yang menghambat kegiatan belajarnya, apabila diperlukan ia bisa dipindahkan ke sekolah khusus agar mendapatkan perhatian ekstra dan metoda yang lebih khusus

Apabila taman kanak-kanak (grup satu dan dua) merupakan pusat tumbuh kembang anak, maka grup tiga dan seterusnya sudah merupakan masa-masa belajar yang sesungguhnya, dimana pendidikan berbasis kompetensi dimulai.

Saat ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar maka setiap anak akan membawa kompetensinya masing-masing. Bagi anak-anak yang mempunyai kompetensi intelektual yang tinggi dalam bidang sains dan teknologi, akan dipersiapkan masuk ke sekolah yang disebut gymnasium, lyseum, atenium untuk selanjutnya ke perguruan tinggi yang akan lebih mengarah pada pengembangan ilmu (universitas). Kepada yang mempunyai kapasitas intelektual baik dan trampil diarahkan masuk ke sekolah menengah profesi dipersiapkan ke perguruan tinggi profesi (Hooger Beroep Onderwijs/HBO). Kepada yang mempunyai ketrampilan yang baik diarahkan kepada sekolah kejuruan, dan sisanya masuk ke sekolah lanjutan menengah untuk kemudian dapat menjadi tenaga menengah (Dodde & Leune, 1995).

Progam Pelayanan Keberbakatan

Dengan adanya pendidikan berbasis kompetensi, maka dengan sendirinya setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyelesaikan pendidikannya secara demokratis dan fleksibel. Begitu juga bagi anak-anak gifted yang ditempatkan di sekolah-sekolah reguler. Sebagaimana anak-anak yang membutuhkan kebutuhan khusus, misalnya remedial therapy, anak-anak gifted yang membutuhkan materi lebih sekaligus membutuhkan remedial therapy juga akan terlayani. Pelayanan terhadap pengembangan keberbakatan adalah dengan cara memberikan tugas-tugas percepatan, pengayaan, dan pendalaman (van Gerven, 2001; van Gerven & Drent 2000; Mooij, 1991).

Percepatan (akselerasi) adalah meloncatkan anak ke tingkatan kelas yang lebih tinggi, dengan mempertimbangkan:
- kapasitas intelektual
- tingkat kemampuan didaktik
- perkembangan sosial dan emosional

Atau percepatan juga bisa diberikan di dalam kelas dengan mengambilkan bahan-bahan dari kelas di atasnya.

Pengkayaan adalah memberi kesempatan anak didik mempelajari hal-hal lain sesuai minatnya di luar materi yang di tawarkan oleh fihak sekolah. Hal ini untuk memberi kesempatan menyalurkan dorongan internal untuk memecahkan persoalan yang lebih menantang. Pengertian pengkayaan bukanlah berarti bahwa menambah materi lain, tetapi lebih kepadanya diperkenankan untuk mengerjakan materi lain. Program pengkayaan akan juga menyangkut perluasan dan pendalam materi. Dalam rangka perluasan materi ini dikaitkan pula dengan pemenuhan tujuan inti pendidikan. Walau begitu diakui bahwa tugas memberikan program pengkayaan ini bukanlah hal yang mudah karena menuntut perhatian guru dan waktu yang lebih banyak.

Materi tugas pengayaan, dan pendalaman dapat secara kreatif dan dikembangkan sendiri oleh guru bersama orang tua, dan interne begeleider dengan mencarikan mentor-mentor yang ada di sekitar sekolah atau para orang tua yang dapat membantu mengembangkan ide-ide kreatif siswa, atau mencari informasi di Landelijk Informatie for (hoog)begaafdeid Primeir Onderwijs melalui website http://www.infohoogbegaafd.nl/adressen/websites/

Sepanjang tahun, guru juga mempunyai tugas untuk melakukan deteksi anak-anak gifted yang kemungkinan menjadi underachiever , baik absolut underachiever (prestasi di bawah rata-rata kelas) dan relative underachiever (dengan prestasi di antara rata-rata kelas). Guru mempunyai tugas mencari sebab-sebab mengapa underechievement terjadi. Bersama-sama dengan orang tua mencoba mencari jalan keluar. Apabila dirasa mengalami kesulitan dapat dilakukan evaluasi yang dilakukan oleh schoolbegelidingdienst untuk kemudian dilakukan bimbingan khusus keluar dari kondisi underprestasi agar jangan sampai terjadi berbagai masalah lain yang muncul.

Bentuk Pendidikan Sekolah Dasar Lain

Di samping sekolah dasar reguler yang diselenggarakan oleh pemerintah, masih ada bentuk-bentuk sekolah dasar lain yang diselenggarakan oleh fihak swasta menggunakan metoda pendekatan yang berbeda, yang dalam sistem pendidikan Belanda dikategorikan sebagai Vrije School (sekolah bebas). Sekolah-sekolah ini adalah sekolah-sekolah Montessori, Dalton, Jenaplan, dan Freinet. Keempat model sekolah itu sekalipun agak berbeda dalam prakteknya namun mempunyai model pendekatan yang sama, yaitupendekatan adaptif, namun lebih memberi kebebasan kepada setiap individu sekolah agar bisa mengembangkan bakat seluas luasnya. Sehingga setiap anak secara bebas dapat memilih mata pelajaran apa yang menjadi minatnya untuk dikembangkan sebebas-besanya tanpa memberi batasan sampai mana yang bisa ia capai (Mooij, 1991; Dodde & Leune, 1995).

Peranan Orang Tua

Apabila dalam psikodiagnostik menunjukkan bahwa anak tersebut mempunyai potensi giftedness maka segera orang tuanya mendapatkan kewajiban dari pemerintah untuk mengikuti kursus-kursus, menerima buku wajib sebagai bahan bacaan, harus selalu membangun kontak dengan para profesional, interne begeleider, dan guru kelas. Hal ini berkaitan dengan pengasuhan yang membutuhkan perhatian ekstra karena karakteristik personalitas anak-anak ini berbeda dengan pola anak pada umumnya. Para orang tua juga diwajibkan mengikuti kelompok orang tua anak gifted yang dibangun untuk menampung keluhan, mencari informasi, dan sekaligus bimbingan dari tenaga ahli. Pertemuan diadakan secara rutin guna mencari ide-ide baru dan pengembangan serta masukan kepada pemerintah guna peningkatan pelayanan anak berbakat. Pharos, adalah satu yayasan orang tua anak berbakat yang telah berusia 17 tahun dan telah berhasil menjadi lembaga non profit yang melahirkan banyak usulan dan advokasi pendidikan anak gifted di Belanda. Para orang tua yang mempunyai anak gifted plus (syndrom ADHD ataupun syndrom autisme, dan atau disertai dengan gangguan belajar) dapat sekaligus juga menjadi anggota berbagai yayasan persatuan orang tua anak sejenis
http://www.pharos-org.nl/ .

Yayasan orang tua anak-anak sejenis ini mendapat bimbingan dan pengawasan dari pusat-pusat atau lembaga-lembaga ilmiah agar informasi yang diterima dapat dipertanggungjawabkan.






PENUTUP
BAGAIMANA PERENCANAAN UNTUK INDONESIA?

Pendidikan inklusif (terbatas) atau We zijn samen weer naar school dengan pendekatan pendidikan yang adaptif, sebagaimana halnya yang dikembangkan oleh negara Belanda tentunya merupakan pendidikan yang paling ideal bagi tumbuh kembang seorang anak gifted yang mengalami perkembangan tidak harmonis maupun yang mengalami gangguan belajar, karena bukan saja faktor giftednessnya dapat terlayani namun juga ketidak harmonisan perkembangannya akan mendapatkan perhatian dan stimulasi yang optimal, serta masalah gangguan belajar dapat mendapatkan remedial therapy dan koreksi sebagaimana yang dibutuhkan.. Bukan hanya anak-anak gifted akan terlayani tetapi juga anak-anak berkebutuhan khusus dengan IQ normal sampai tinggi lainnya akan dapat terlayani.

Apabila model seperti ini akan diterapkan di Indonesia dalam pendidikan berbasis kompetensinya, tentunya merupakan tugas dan kerja berat yang luar biasa dan memerlukan waktu persiapan yang tidak sedikit . Bukan saja untuk mempelajari berbagai konsep-konsep yang mendasar sebagai landasan perundang-undangan, peraturan dan tatalaksana pelayanan, tetapi juga pembangunan persiapan struktur penunjang dan kesepakatan akan diagnosa yang masih simpang siur. Disamping itu pendekatan pendidikan yang adaptif dengan competence-based-curriculum memerlukan manajemen sentral, dengan begitu pembangunan ini tidak mungkin dilaksanakan perregional.
Misalnya saja dalam membangun psychoeducational assessment center akan memerlukan berbagai perombakan di berbagai bidang:
- akan menyangkut sistem perpajakan dan sistem asuransi/subsidi kesehatan, hal ini berkaitan dengan dengan biaya tambahan bagi setiap anak karena memerlukan pemantauan yang detil, pemeriksaan yang teliti, terapi, koreksi, dan tugas-tugas tambahan bagi anak berbakat maupun bentuk tugas yang sesuai untuk setiap anak;
- melakukan perombakan dalam sistem pendidikan guru, psikologi dan kedokteran;
- menyediakan spesialis dokter tumbuh kembang (di Indonesia masih sebagai dokter spesialis anak dan belum ada pemantauan tumbuh kembang secara detil bagi setiap anak Indonesia) dan dokter sekolah (di Indonesia masih dirangkap oleh dokter puskesmas dan tugasnya hanya melakukan pemeriksaan kesehatan fisik);
- serta penyediaan tenaga lain yang mempunyai kaitan dengan masalah tumbuh kembang anak, menyiapkan materi pengetahuan dan bahan ajar, merombak sistem kesehatan nasional, dan akhirnya perlu menyediakan berbagai tenaga yang luar biasa banyak;
- mendirikan pusat-pusat informasi
- dan seterusnya

Ambil contoh sebagai bagan di bawah ini.
Setidaknya dalam menanggapi bahwa setiap anak Indonesia mempunyai hak menerima pendidikan, jaminan kesehatan yang setinggi-tingginya, serta pemenuhan undang-undang wajib belajar, maka untuk dapat melanjutkan ke sekolah dasar setiap anak harus terpantau tumbuh kembangnya sejak dini yang dilakukan oleh dokter tumbuh kembang di setiap puskesmas. Setiap puskesmas mempunyai juga tenaga dokter sekolah yang secara intensif membawahi semua sekolah yang berada dalam daerah pelayanannya. Dokter sekolah juga perlu mendapatkan pendambing berbagai tenaga lainnya dalam upaya melakukan psychoeducational assessment. Para tenaga ini juga mempunyai sistem referal dengan dokter keluarga dan pusat-pusat yang lebih tinggi. Kerjasama orang tua, konselor, guru, dan tenaga terapi juga mendapatkan peranan yang sangat penting.






Adanya psychoeducational educational assessment center seperti ini akan lebih memudahkan arah bagi guru untuk memberikan pelajaran kepada berbagai murid yang beragam, karena guru tidak lagi menerima diagnosa dokter seperti misalnya anak dengan penyandang autisme atau ADHD sebagaimana yang terjadi kini bahwa beberapa sekolah menyatakan dapat menerima anak dengan diagnosa autisme dan ADHD. Guru tidak perlu lagi menerima diagnosa psikiatrik, tetapi diagnosa pedagogi yang aplikatif dan segera dapat dikerjakan. Dan guru kelas juga dapat terbantu dengan adanya remedial teachers yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang gangguan belajar. Peranan orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah juga mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu para orang tua yang terlatih dapat menjadi kader-kader sekolah membantu sebagai tenaga sukarela.

APA YANG BISA DILAKUKAN SEKARANG?

Untuk mencapai sistem pendidikan yang paling ideal yang tentu akan memerlukan perencanaan jangka panjang, namun tentunya langkah-langkah ke depan yang paling dapat dijangkau hendaknya segera dapat direalisasikan.

1) melakukan informasi teoritis yang seluas-luasnya tentang anak-anak berbakat yang mengalami perkembangan disinkroni,
2) pengumpulan data dan telaah kasus,
3) melakukan konsolidasi antar bidang profesi yang berkaitan dengan masalah tumbuh kembang anak-anak dan pendidikan,
4) memanfaatkan lembaga-lembaga ilmiah yang ada dan sudah melakukan peningkatan ketrampilan asesmen anak-anak gifted disinkroni, untuk melakukan deteksi dan assessment,
5) membuat suatu model sekolah perantara yang mendapatkan pengawasan serta bimbingan dari berbagai lembaga profesi yang bergerak di bidang tumbuh kembang anak-anak,
6) kerjasama antar departemen pendidikan dan departemen kesehatan untuk membangun kerangka acuan assessment dan model pendidikan dalam sekolah perantara.


Daftar Bacaan

Davis,RD (1995) : De Gave van dyslexie, Uitgevrij Elmar BV, Rijswijk.

Dekker,J & Zijlstra, T (2003): Competenries in beeld, Hbuitgevers, Baarn.

De Groot, R & Paagman,CJ (2003): Denkbeelden over Beelddenken, Uitgevrij Agiel, Utrecht.

Dodde,NL & Keune, JMG (1995): Het Nederlandse Schoolsystem, Wolters-Noordhoff, Groningen.

Hulsbeek, M & de Boer,G (2001): (Hoog)begaafde Leerlingen in het primair onderwijs en vortgezet onderwijs, De Landelijke Informatiepunten (hoog)begaafdheid, Enschede.

Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wetenschappen (2001): Tweede Voortgangsrapportage Weer Samen Naar School, Zoetermeer.

Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wetenschappen (2004) Zesde Voortgangrapportage Weer Samen Naar School, Denhaag.

Mönks,F & Ypenburg,I (1995): Samson HD Tjeenk Willink, Alphen Aan de Rijn.

Mooij, T (1991): Onderwijs aan hoogbegaafde kinderen, Dick Coutinho, Muiderberg.

Mooij, T (1991): Schoolproblemen van hoogbegaafde kinderen, richlijnen voor passesd onderwijs, Dick Coutinho, Muiderberg.

Van der Heide,JHS, Koster,I & de Zwart, T (2000) : Het Pedagogische-didactisch onderzoek van jonge kind, Advies en begeleiding centrum (ABC), Amsterdam.
Van Gerven, E ; Drent,S (2000): Een Doorgaande Lijn voor Hoogbegaafde Leerlingen, Uitgevrij Lemma BV, Utrecht.

Van Gerven, E (2001): Zicht op hoogbegaafdheid, handboek voor leerkrachten in basisonderwijs, Uitgevrij Lemma BV, Utrecht.

Unesco (1999): Review of Unesco Activities in the light of The Salamanca Statement and Framework for Action, adopt at The World Conference on Special needs Edication: Acces and Quality, Unesco, Paris

Tidak ada komentar: